Archive for Maret, 2008

Lagu Tujuh Materei

Maret 29, 2008

1

Bila aku seorang Nabi yang dipenuhi oleh roh profetik itu yang berkelana pada bukit-bukit tinggi antara dua laut.

berkelana antara masa lalu dan masa depan bagaikan awan yang sarat, musuh terhadap dataran-dataran yang merenung dan terhadap semua yang letih dan tidak bisa mati maupun hidup:

bersedia bagi petir dalam dadanya yang gelap ini dan bagi berkas-berkas cahaya yang menembus, menggembung penuh dengan petir-petir yang mengatakan YA! Tertawa untuk YA! Bersedia bagi kilatan-kilatan petir profetik:

tetapi berkatilah dia yang menggembung seperti itu! dan, sebenarnya, dia yang ingin menyalakan api masa depan harus bergantung lama di atas gunung-gunung seperti badai yang sarat!

Oh bagaimana bisa aku tidak merindukan keabadian dan cincin kawin cincin-cincin─Cincin keberulangan!

Belum pernah aku temukan wanita yang kuingini sebagai ibu anak-anakku, kecuali dia adalah wanita ini, yang aku cintai: karena aku cintai engkau, O Keabadian!

Karena aku cintai engkau, O Keabadian!

 

2

Jika nanti kemarahanku membelah kuburan-kuburan hingga terbuka, memindahkan batu-batu pembatas, dan menggulingkan prasasti-prasasti hukum lama yang sudah pecah itu ke jurang-jurang dalam:

jika nanti ejekanku menghembus pergi kata-kata berjamur, dan jika aku datang bagaikan sebuah sapu kepada laba-laba Salib dan bagaikan angin yang menguras kepada makam-makam lama:

jika nanti aku duduk bergembira di tempat tuhan-tuhan lama terkubur, memberkati-dunia, mencintai-dunia, di samping monumen-monumen untuk para pemfitnah-dunia:

karena aku mencintai bahkan gereja-gereja pula dan kuburan tuhan-tuhan, seandainya saja langit memandang, bermata jernih, melintasi atap-atap mereka yang runtuh; aku suka duduk seperti rumput dan bunga-bunga candu merah pada gereja-gereja yang hancur:

Oh bagaimana bisa aku tidak merindukan keabadian dan cincin kawin cincin-cincin─Cincin Keberulangan!

Belum pernah aku temukan wanita yang kuingini sebagai ibu anak-anakku, kecuali dia adalah wanita ini, yang aku cintai: karena aku cintai engkau, O Keabadian!

Karena aku cintai engkau, O Keabadian!

 

3

Jika nanti terbersit napas dari napas kreatif telah datang kepadaku, dan sebuah napas dari kebutuhan surgawi itu yang mendorong bahkan kebetulan untuk menari dalam orbit bintang-bintang:

jika nanti aku telah tertawa dengan tawa petir kreatif, yang diikuti oleh guruh perbuatan, menggerutu tetapi patuh:

jika nanti aku telah memainkan dadu bersama tuhan-tuhan di meja mereka, bumi, sehingga bumi bergetar dan terbelah dan aliran-aliran api meluncur berdengusan:

jarena bumi adalah meja tuhan-tuhan yang bergetaran dengan kata-kata baru yang kreatif dan lemparan-lemparan dadu tuhan-tuhan:

Oh bagaimana bisa aku tidak merindukan keabadian dan cincin kawin cincin-cincin─Cincin Keberulangan!

Belum pernah aku temukan wanita yang kuingini sebagai ibu anak-anakku, kecuali dia adalah wanita ini, yang aku cintai: karena aku cintai engkau, O Keabadian!

Karena aku cintai engkau, O Keabadian!

 

4

Jika nanti aku telah minum seteguk penuh dari cambung campuran rempah yang berbusa itu:

jika nanti tanganku telah mengatupkan yang terjauh kepada yang terdekat, dan api kepada roh, dan kegembiraan kepada kesedihan, dan yang terjahat kepada yang terbaik:

jika aku sendiri adalah sebutir garam penebus itu yang membuat segalanya tercampur dengan baik bersama-sama dalam cambung:

karena terdapat sebutir garam yang menyatukan baik dengan jahat, dan bahkan yang paling jahat masih berharga sebagai rempah dan pembusaan terakhir:

Oh bagaimana bisa aku tidak merindukan keabadian dan cincin kawin cincin-cincin—Cincin Keberulangan!

Belum pernah aku temukan wanita yang kuingini sebagai ibu anak-anakku, kecuali dia adalah wanita ini, yang aku cintai: karena aku cintai engkau, O Keabadian!

Karena aku cintai engkau: O Keabadian!

 

5

Jika aku cintai laut, dan semua yang mirip laut, dan paling mencintainya ketika ia dengan marah membantahku:

jika dalam diriku ada kegembiraan dalam mencari apa-apa yang mendorong layar-layar ke arah yang tak terketemukan, jika ia kegembiraan seorang pelaut kudapati dalam kegembiraanku:

jika nanti kegembiraanku telah berseru: “pantai telah menghilang—kini belenggu terakhir terlepas dariku,

“yang tak terbatas meraung di sekelilingku, jauh di sana berkediplah angkasa dan waktu, maka baiklah, ayolah! hati tuaku!”

Oh bagaimana bisa aku tidak merindukan keabadian dan cincin kawin cincin-cincin─Cincin Keberulangan!

Belum pernah kutemukan wanita yang kuingini sebagai ibu anak-anakku, kecuali adalah wanita ini, yang aku cintai: karena aku cintai engkau, O Keabadian!

Karena aku cintai engkau, O Keabadian!

6

Jika kebajikanku adalah kebajikan seorang penari, dan jika aku sering melompat dengan kaki-kaki yang bergairah jamrud—keemasan:

jika kejahatan adalah kejahatan lucu, yang biasa terjadi di antara kebun-kebun mawar dan pagar-pagar bunga lili:

karena dalam tawa semua kejahatan ditemukan, tetapi disucikan dan diampuni karena kebahagiaannya sendiri:

dan seandainya Alfa dan Omegaku adalah segalanya yang berat akan menjadi ringan, setiap tubuh menjadi penari, semua roh adalah burung; dan, sungguh, itulah Alfa dan Omegaku!

Oh bagaimana bisa aku tidak merindukan keabadian dan cincin kawin cincin-cincin—Cincin Keberulangan!

Belum pernah aku temukan wanita yang kuingini sebagai ibu anak-anakku, kecuali dia adalah wanita ini, yang aku cintai: karena aku cintai engkau, O Keabadian!

Karena aku cintai engkau, O Keabadian!

 

7

Jika nanti aku mengembangkan sebentang langit hening di atasku dan terbang dengan sayap-sayapku menuju langitku sendiri:

jika, selagi bermain, aku telah berenang ke dalam jurang-jurang cahaya yang dalam dan cahaya kearifan-burung datang kepada kebebasanku:

tetapi kearifan-burung berkata begini: “Lihatlah, tidak ada atas, tidak ada bawah! Lemparkan dirimu kian kemari, keluar ke belakang, burung tanpa berat! Menyanyilah! jangan lagi berbicara!

Oh bagaimana bisa aku tidak merindukan keabadian dan cincin kawin cincin-cincin—Cincin keberulangan!

Belum pernah aku temukan wanita yang kuingini sebagai ibu anak-anakku, kecuali ia adalah wanita ini, yang aku cintai: karena aku cintai engkau , O Keabadian!

Karena aku cintai engkau, O Keabadian!

 

PS:

Tulisan di atas adalah karya Nietzsche yang berjudul ‘Lagu Tujuh Materai’, sengaja saya pasang di sini karena entah kenapa saya merasakan ada semacam ambiguitas bahasa dalam karya ini..

Jadi, tafsiran seperti apa yang ada di kepala anda setelah membaca karya ini, silahkan jabarkan di kolom komentar.

Demikianlah

-UP-

Jihad; Manifestasi Dari Moral Budak

Maret 27, 2008

dalam agama, manusia sebagai mahluk agung dan indefinitif dibikin beku dan kerdil di hadapan Tuhan. dengan dalih dosa awal, manusia telah tersulap menjadi sekedar kawanan domba bermahkotakan moral budak, yang di dalamnya kemunafikan dan kepalsuan terayomi.

-Friedrich Nietzsche-

 

Ada begitu berjubel perilaku manusia-manusia di abad millennium ketiga ini yang membutuhkan banyaknya perenungan. Sebuah proyeksi masa depan di mana harapan dan ketidak pastian saling menelikung satu sama lain, tapi dilain saat kadang malah berjalan beriringan manusia global merumuskan moralitas baru demi dunia yang lebih layak untuk ditinggali, tapi di lain pihak, dekadensi moral dan agama semakin menampakkan wujudnya yang begitu mencekam. Bom bunuh diri yang tersaji di depan hidung, terorisme, dan pembunuhan masal atas nama agama dan Tuhan semakin hari semakin tak ternalar. Tuhan yang begitu kuat di kerdilkan oleh hambanya sendiri sebagai sesuatu yang patut di bela mati-matian. Saya melipir. Bahkan dalam konteks yang sederhana seperti poligami pun saya tidak pernah setuju, karena menurut saya lebih baik menyakiti Tuhan yang jelas-jelas maha kuat dengan melakukan perselingkuhan, melacur dan bahkan masturbasi, daripada harus berpoligami yang berarti menyakiti hati makhluk lemah yang dalam hal ini tentu saja sang istri. Selingkuh yang saya maksud disini tentu bukan perselingkuhan yang melibatkan hati, melainkan perselingkuhan yang Cuma memakai penis dan bukan perasaan. Sex after lunch. Tak ada yang tertunduk dan menunduk. Jadi, kalau untuk sekala kecil saja nalar dan moralitas saya sebagai manusia tak dapat menerimah, apatah lagi untuk skala besar yang melibatkan begitu banyak nyawa manusia.

Pendeknya, kenapa saya lebih banyak mengamini pemikiran Nietzsche yang ateis itu ketimbang agama adalah karena Nietzsche menawarkan suatu moralitas yang lebih. Memang, ada beberapa orang yang menarik kesimpulan dengan serampangan, bahwa kelakuan umat beragama yang suka menteror, bermain bom, menculik dan bersikap barbar itu tak berbeda dari kaum Nietzschean dengan will to powernya (kehendak untuk berkuasa). Pandangan ini jelas keliru dan menyesatkan. Sang berucap jelas tidak memahami konteks yang di hadapi. Jelas ada perbedaan antara kelakuan orang-orang beragama diatas dengan konsep yang disodorkan Nietzsche lewat will to powernya. Sang pembunuh Tuhan ini jelas-jelas mengangkat martabat manusia dengan menempatkan manusia sebagai titik tertinggi. Ada semacam pengagungan moralitas tuan dalam pandangan Nietzsche ini. Dalam Will to Power terkandung suatu ketegaran hati dan mengutuk kelemahan moralitas budak. Ini di tandaskan oleh Nietzsche sendiri lewat idiomnya bahwa hidup adalah perjuangan. Singkatnya, Will to Power adalah sebuah logika kekuasaan yang mendasarkan manusia sebagai titik berbangkit.

Sementara yang terjadi dengan para penjihad sendiri adalah bahwa kelakuan <si kucing garong> mereka semacam pengejewantahan dari kekerdilan hati dan moralitas budak Sebuah sublimasi dari dekadensi moral yang sekaligus juga menempatkan dirinya sebagai musuh kemanusiaan. Sekarang jernih kau lihat, pada tindak-tanduk siapa moral memihak.

Dan sebagai penutup, saya kutipkan quote dari Dr. Singkop Boas Boangmanalau, MA:

Dalam sejarahnya, agama membutuhkan tekanan agar senantiasa terjaga, dan terjebak dalam ignoransi penggembalaan. Apa yang enggan di sentuh agama di bongkar secara radikal. Banalisasi dunia transcendental yang menjadi kegemaran Nietzsche, tak urung membuat agama kaget dan dipaksa mawas diri..

 

 

ps:

artikel ini di post langsung dari microsoft word, jadi soir kalo kecik nian.

Selalu Ada Yang Tak Selesai

Maret 22, 2008

Korban itu adalah sebuah kaos. Di akhir pertandingan, Ronaldo atau Klose akan mencopotnya dan memberikannya pada pemain lawan. Benda ini identitasku, ia bagian dari narsisme dalam diriku, ia berbau keringatku dan kena sedikit panu di kulitku. Tapi ia kulepas, kuberikan kepadamu.
-Goenawan Mohamad-

GM benar ketika ia mengatakan bahwa dalam sekala kecil, ada satu masa di mana manusia harus melepas egoisitasnya dan membiarkan manusia lain yang ada di luar dirinya menggapai mimpi yang selama ini mengganggu tidur malamnya. Sebuah keputusan yang bisa jadi akan disesalinya seumur hidup karena bisa saja mimpi indah manusia satu tak berarti serta merta menjadi mimpi indah bagi manusia lainnya juga. Tapi persoalan yang kemudian mencuat adalah haruskah sang manusia lain yang mimpinya tak selaras itu menyodorkan tubuhnya sendiri sebagai martir demi kebahagian manusia yang berada di luar dirinya?

Tapi di saat lain, kadang manusia itu sendirilah yang memposisikan dirinya untuk berada pada posisi itu. Siapa menanam, dia yang menuai. Siapa bermain api, dia yang terbakar, agaknya masih tetap relevan di zaman di mana tekhnologi menguasai akal dan kesadaran manusia ini. Sebuah posisi tawar yang mengorbankan “kini” untuk menggapai “kemungkinan”. Spontanitas, terseret suasana, untung-untungan, dan lain sebagainya memang sifat manusiawi yang kadang tanpa sadar akhirnya membuat sang manusia berada pada posisi yang kurang menguntungkan itu. Ada sebuah entitas kesadaran yang ikut di korbankan di sini. Tapi ya sudahlah, toh ini cuma kaos dengan wujud yang berbeda.

Lagi pula, benar kata slogan sim card sejuta umat itu, bahwa “mulutmu adalah harimaumu”. Sang berucap harus mempertanggung jawabkan apa yang kadung terlontar dari mulutnya, seburuk apa pun yang akan ditemukannya nanti. Apalagi ini sudah menyangkut mimpi satu manusia yang tak mungkin direnggut dengan semena-mena. Ini menyangkut hajat hidup dua keluarga. Itu pun kalau kau masih manusia, kata Siwi

Ya, kuncinya adalah kalau kau masih merasa menjadi manusia. Dan sebagai manusia, siapa pun punya titik berangkat yang sama untuk landasan ontologis dalam mencandra kehidupan. Terlebih bagi para pemuja eksistensialis (amatir, berat maupun ringan) yang memang punya kesamaan flatform berpikir dan berkreasi yang memiliki sifat-sifat dasar sebagai manusia yang berkesadaran, yaitu bahwa:

  1. Hidup bertolak dari pengalaman.
  2. Manusia sebagai subjektivitas murni, dan bukan sebagai manifestasi dari proses kehidupan kosmik.
  3. Subjektifitas di pahami dalam arti kreatif; manusia menciptakan dirinya sendiri dan di dalamnya kebebasan terafirmasi.
  4. Manusia tidak lengkap atau indefinitif; realitas terbuka, dan terikat pada dunia dan kepentingan manusia lain.
  5. Manusia harus menghadapi situasi deterministik, namun juga menghadapi situasinya sendiri.

Dan yang lebih penting dari semuanya adalah bahwa dunia bukanlah tempat dimana segala keinginan terjewantahkan ke dalam kenyataan. Ada sebagian mimpi yang memang harus tetap dibiarkan sebagai mimpi, karena bisa jadi bila semua mimpi mewujud kenyataan, kita akan terlalu banyak menyesali mimpi kita yang ternyata begitu teraih tak seindah yang terbayangkan.
Hidup memang selalu saja tak selesai..

.

.

.

PS.
Buat Siwi dan Goop yang tau simpul dari postingan ini, harap diam. Biarkan tulisan ini tetap menjadi seperti bidak-bidak catur yang terberai tanpa nama. Biarlah postingan ini tetap menjadi puzzle yang tak lengkap, karena dua bagian yang tersisa ada di tangan kalian..
*sumpal mulut Siwi dan Goop pake karung bekas wadah pupuk kandang*