Moral Budak yang Berbahaya di Mata Nietzsche

Agustus 1, 2010

Ah, sudah lama rasanya saya tak menulis tentang risalah-risalah Nietzche di blog ini. Untuk itu pada kesempatan kali ini mumpung sedang ada sedikit mood untuk menulis, saya akan (kembali) mewartakan pemikiran-pemikiran Nietzsche terutama untuk soal moralitas tuan dan moralitas budak.

Sebenarnya, postingan ini sendiri berkait erat dengan postingan saya sebelumnya yang berjudul Khotbah dari Sang Pembunuh Tuhan yang dalam hal ini adalah tentang bagaimana Nietzsche menggambarkan dalam sabdanya tersebut melalui tokoh ‘orang gila’ yang memproklamirkan diri telah membunuh Tuhannya pada suatu pagi di sebuah pasar dengan lentera menyala di tangan.

Lewat perumpamaan orang gila yang berkoar-koar ditengah pasar itulah yang disimpulkan oleh F. Budi Hardiman sebagai pintu gerbang datangnya zaman ateistis, dan kegilaan yang dimaksud Nietzsche tentu saja adalah gambaran dari dirinya sendiri yang kehilangan sosok Tuhan, sementara orang-orang zaman itu tidak memahaminya, sampai datang zaman kegilaan universal, yakni penemuan kesadaran bahwa manusia telah kehilangan Tuhan.

Pendeknya, pada saat itu yang ingin dikemukakan oleh Nietzsche adalah sudah saatnya kita menyambut datangnya suatu zaman dimana kreativitas dan kemerdekaan merupakan bahan bakar utama yang menggerakkan segalanya, sebab dengan matinya Tuhan terbukalah horizon seluas-luasnya bagi segala energi kreatif untuk berkembang penuh. Tanpa larangan dengan terror neraka maupun perintah-perintah dengan iming-iming kenikmatan abadi a la surga. Mulai saat itu kita tak lagi bisa dipaksa untuk menengok dan berkunjung ke dunia transenden, karena toh menurut Nietzsche, agama sebagai sebuah lembaga pihak ketiga yang menghubungkan manusia dengan Tuhan tersebut tak lebih merupakan sebuah lembaga yang bobrok dan busyet, mengebiri daya vital manusia dan semakin menjauhkan manusia dari hidup dan dunianya, yang dalam artian, Nietzsche menganggap lembaga agama tak lebih dari vampirisme belaka. Dengan ‘kematian Tuhan’ manusia tidak lagi dibatasi atau diarahkan oleh dunia transenden. Dia tidak lagi berlindung di bawah naungan Tuhan karena sikap pengecut dan penolakannya terhadap dunia ini.

Jadi, tak berlebihan kiranya jika kemudian banyak orang yang kemudian menyimpulkan (termasuk juga saya) bahwa eksistensialisme – nihilisme Nietzsche pada dasarnya adalah eksistensi yang sekuler dengan menempatkan manusia sebagai sosok yang menempati posisi khusus dalam tatanan kosmos. Hanya saja, tak seperti filsuf rasionalis yang menganggap bahwa ciri khusus manusia adalah pada rasionya, maka Nietzsche lebih memilih penitik beratan ciri khusus tersebut lebih kepada tindakan yang diambil oleh manusia itu sendiri. Dari kekeras kepalaannya pada sang tindakan inilah kemudian lahir satu premis yang kita semua tahu, Will to Power, sebuah kehendak untuk berkuasa.

Melalui konsepsinya tentang kehendak untuk berkuasa ini tentu saja tak terbatas hanya pada diri dari manusia itu sendiri sebagai individu, melainkan juga di dalam seluruh realitas dunianya. Oleh karenanya, dalam tatanan ini Nietzsche kemudian menarik satu kesimpulan bahwasanya kehendak untuk berkuasa merupakan sebuah kegairahan global terhadap hidup yang paling primordial yakni tidak datang sebagai daya tunggal melainkan datang sebagai energi-energi vital yang demikian heterogen yang mencakup suasana psikis, gerak fisis (alam), dan seluruh proses ‘menjadi’ dari kosmos itu sendiri.

Dengan kehendak untuk berkuasa itulah menurut Nietzsche manusia tak boleh lagi memandang hidupnya sebagai semata pemberian dari yang maha memberi jatah, melainkan juga harus dibarengi dengan berbagai tindakan-tindakan esensial yang membuat manusia menjadi sebuah gerak yang dinamis, penuh proses dan sama sekali tak boleh tunduk pada apapun (termasuk Tuhan) yang pada gilirannya akan mematikan daya hidupnya demi mencapai satu tujuan akan kegairahan hidup yang hakiki yakni menjadi manusia unggul. Kehendak untuk berkuasa pada diri manusia ini di mata Nietzsche bisa sedemikian pentingnya karena menurutnya, manusia tanpa memiliki daya kehendak untuk berkuasa cenderung berpotensi menjadi manusia yang lemah, terpinggirkan, serba takut, tanpa daya tending mumpuni dan sebagainya yang pada gilirannya akan memicu terciptanya sosok manusia yang pasrah pada nasib dan menyerahkan hajat hidupnya pada pedoman fiktif-eksternal. Dan inilah yang berbahaya, ketika seorang manusia menyerahkan segala persoalan hidupnya kepada sosok pedoman fiktif-eksternal itu akan dengan sendirinya melahirkan mental asketisme ideal.

Asketisme ideal atau ideal asketisme yang dimaksud oleh Nietzsche tentu saja adalah sebuah idealisasi dan sublimasi dari rasa takut, kekalahan, ketidakberdayaan dan sebagainya sebagai sebuah penghiburan diri semu agar segala rasa sakit tersebut lebih mudah untuk ditahan. Idealisasi aeperti inilah yang bisa dengan muda anda temukan dalam berbagai agama dengan pengikut-pengikutnya. Sebagai penunjang dari semua teorinya ini kemudian Nietzsche melakukan sebuah genealogi moral untuk menelusuri nilai-nilai moral. Dari penelitiannya terhadap nilai-nilai moral ini Nietzsche mengelompokkan moralitas manusia terbagi menjadi dua kategori yakni moralitas tuan (kaum aristokrat) dan moralitas budak (kaum budak).

Moralitas budak disini dalam persfektif Nietzsche bukanlah budak dalam artian yang farsial dan tertindas melainkan sekawanan koloni manusia yang miskin secara batin dan ekonomi, energi, vitalitas, dan sama sekali jauh dari kata menarik baik secara fisik maupun ekonomi. Dengan hidup dalam keadaan serba kekurangan itulah yang memerosokkan kaum budak ke dalam kubangan dendam dan marah terhadap kemuraman hidup yang mereka jalani. Suatu sikap yang semula marah pada keadaannya sendiri itu pada akhirnya terakumulasi dan mulai mencari pelampiasan pada sesuatu yang diluar dirinya, yakni mulai membenci dan marah terhadap kaum aristokrat yang notabene memiliki segala apa yang tidak dipunyai mereka. Karena itu tak berlebihan kiranya jika kemudian mereka memandang para aristokrat sebagai orang yang berbahaya dan jahat bagi kelompoknya.

Sayangnya, kebencian terhadap kaum aristokrat yang memiliki moralitas tuan ini tidak membuat kaum budak menjadi terpacu untuk memperbaiki dirinya, pun juga tak serta merta membuat mereka berani melawan (perang) secara terang-terangan dan merebut segala yang dipunyai kaum aristokrat ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran golongan mereka. Kebencian mereka lebih terlihat seperti gerundelan tak puas yang tak menghasilkan apa-apa.

Perang yang mereka lakukan hanya terjadi di dunia antah berantah untuk kemudian diaplikasikan ke dunia nyata dengan cara membalikan nilai-nilai. Pembalikan nilai-nilai itu antara lain dengan menganggap kum aristokrat yang tadinya mereka anggap tinggi dan agung menjadi nilai-nilai rendah yang berkubang dosa. Kaum aristokrat digambarkannya sebagai manusia berlumur dosa karena keserakahan mereka dalam mencari kemakmuran duniawi dan siksa neraka pantas mereka terima sebagai balasannya. Pembalasan dendam itu tidak dilaksanakan oleh mereka, melainkan oleh sebuah entitas entah bernama Tuhan di akhirat kelak.

Dengan penghiburan seperti itu, dendam mereka terhadap kaum aristokrat merasa terlampiaskan dengan mematok nilai-nilai berbalik yang menganggap kaum aristokrat selaku orang jahat yang layak digoreng di neraka oleh sebuah entitas yang mereka ciptakan yakni Tuhan sebagai eksekutor dari nilai-nilai aristokrasi tadi. Setelah ajang penghiburan diri yang semu dengan diciptakannya Tuhan selaku eksekutor agung atas dosa-dosa yang dilakukan kaum di atas mereka menjadikan mereka lena dengan segala persoalan yang menghimpit. Mereka mulai berpikir jika ada sesuatu yang bernama penghukuman mestinya ada pula apa yang disebut sebagai hadiah atau karunia. Terciptalah surga, sambil mereka lupa jika sebenarnya dulu konsep penghukuman bernama neraka itu pada kenyataannya diciptakan oleh mereka sendiri. Mereka meyakini bahwa orang-orang tak beruntung di dunia seperti mereka layak diganjar kenikmatan tanpa batas di surga kelak. Itulah sebabnya kenapa Nietzsche menganggap bahwa moralitas budak begitu berbahaya dan memiskinkan kemanusiaan. Oleh karenanya, menurut Nietzsche sistem yang melahirkan moralitas budak seperti itu mesti segera didekonstruksi, dan langkah pertama yang paling tepat adalah dengan membunuh sumber dari malapetaka itu sendiri yakni Tuhan.

Tuhan harus dibunuh sebagai idealisasi dari rasa benci dari sebuah rasa ketakberdayaan kaum budak terhadap kaum aristokrat. Lebih jauh, Tuhan harus dibunuh karena ia telah sedemikian kronisnya digunakan sebagai penghiburan diri atas kemalasan mereka menjadi sosok manusia unggul. Bagaimana tidak, dengan adanya Tuhan beserta janji-janji pembalasan dan hadiah di dunia fiktif (neraka dan surga) membuat kaum budak berdamai dengan kegagalan, kelemahan, kekalahan dan sebagainya tanpa ada upaya untuk bangkit sama sekali. Mereka menyerah pada kungkungan nasib yang diciptakan oleh entitas yang mereka puja, karena mereka pikir dengan sikap fatalis seperti itu mereka telah berbuat kebajikan dan layak diganjar dengan hadiah surgawi dengan kenikmatannya yang tanpa batas itu.

Setelah membunuh Tuhan, langkah dekonstruksi kedua yang dilakukan Nietasche adalah menciptakan satu sosok manusia super (ubermench). Sosok yang bisa diraih dan akomodatif dengan langkah-langkah menuju keagungan. Pernyataan manusia terhadap manusia unggul itu dapat ditemukan dalam satu kutipan terkenal yang terdapat dalam Thus Spoke Zarathustra yakni:

dahulu dosa yang terbesar adalah dosa melawan Tuhan; tetapi Tuhan sudah mati, dan bersama dia matilah pula mereka yang berdosa itu. Sudah tiba waktunya bagi manusia untuk menentukan tujuan bagi dirinya sendiri. Sudah tiba saatnya bagi manusia untuk menanam bibit harapannya yang seunggul-unggulnya.

Dengan kata lain, manusia unggul yang diciptakan Noetzsche ini adalah sebuah upaya untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan Tuhan begitu Tuhan mati (terbunuh). Tapi, berbeda dengan sosok Tuhan yang memiliki dua sisi kepribadian sebagai yang maha memberi hadiah sekaligus maha pemberi hukuman, manusia unggul yang tercermin dalam diri Zarathustra lebih membumi. Ia menjadi sosok yang memberi panutan bahwa setiap individu berhak menentukan jalan hidup yang terbaik baginya tanpa harus ada embel-embel penghukuman dan ganjaran di dunia setelah mati. Manusia harus menjadi sosok yang mencintai nasibnya (amorfati) seperti pernyataan Nietzsche sendiri: “semboyanku ialah Amor fati: …tidak saja tabah menanggung segala keharusan (penderitaan), melainkan juga mencintainya.”

Amor fati adalah sebentuk kecintaan manusia pada hidup dan kehidupannya dengan sama sekali menolak untuk melarikan diri keduania antah berantah yang disebut akhirat. Dengan konsepsi seperti ini, bisa ditebak bahwa Nietzsche tak mengakui adanya dunia akhirat sebagai keabadian sejati, yang mendegradasikan hidup di dunia, sebagai kesementaraan tanpa makna; akhirat di mana Tuhan akan mengeksekusi yang jahat. Bagi Nietzsche, kepercayan kepada Tuhan hanya akan mengasingkan manusia dari kemanusiaannya sendiri yang ducerminkan dengan gaya hidupnya yang asketis itu. menurutnya, moralitas dan mentalitas agama tak lebih dari sentimen dari orang-orang yang kalah dalam kehidupan di dunia, oleh karenanya mereka kemudian berharap bahwa setelah menjalani muramnya hidup di dunia, mereka pantas dihadiahi surga atas kesabaran dan ketabahan mereka menjalani penderitaan hidup di dunia. untuk alasan itulah Nietzsche dengan lantang mengatakan bahwa Tuhan sudah selayaknya dieliminasi dari kehidupan manusia. Tuhan harus dibunuh!

6 Tanggapan to “Moral Budak yang Berbahaya di Mata Nietzsche”

  1. haziran Says:

    bagaimana dengan orang yang sudah kalah didunia, lalu tabah dan sabar pun tak punya 😀

  2. Jabon Says:

    mampir aja nich..
    salam dari petani jabon

  3. harga huawei Says:

    bagus juga nihh postingannya……

  4. les privat Says:

    salam kenal gan .. senang bisa mampir ke blog anda

  5. laptop hp Says:

    blognya bagus, postingannya juga bagus
    salam blogwalking 🙂

  6. harga zte Says:

    Amor fati adalah sebentuk kecintaan manusia pada hidup dan kehidupannya dengan sama sekali menolak untuk melarikan diri keduania antah berantah yang disebut akhirat.


Tinggalkan komentar