Semua aktivitas umat manusia sama saja. Karenanya, tidaklah ada bedanya apa yang dilakukan seorang pemabuk yang kesepian atau apa yang dikerjakan seorang pemimpin negara. Apabila salah satu aktivitas tersebut mendahului aktivitas yang lain, hal itu terjadi bukan karena sasaran yang sebenarnya, namun karena adanya derajat kesadaran dari masing-masing aktivitas atas sasaran idealnya..
Jean Paul Sartre
Apa yang ingin dikemukakan Sartre diatas sebenarnya adalah bahwa baik dan buruk, dan atau nilai-nilai utama itu tidaklah benar-benar ada, karenanya semua tindakan manusia atas apapun secara intrinsik itu sama saja. Tak ada satu pun orang di dunia ini yang lebih baik di banding lainnya. Kita memilih untuk melakukan tindakan yang lebih hebat dari yang lain, itu semata-mata atas pilihan sadar kita. Jadi pada intinya tak ada bedanya sama sekali bila kita memakan kotoran sendiri atau bercita-cita menjadi nabi yang haus darah demi kemashyuran ajaran yang kita emban sekalipun, sepanjang kita sadar dengan apa yang kita lakukan..
Hal yang sama pun ditegaskan oleh Nietzsche melalui jargonnya yang luar biasa (suatu perpaduan antara kepolosan dan kepongahan) bahwa, “Aku bukan manusia, aku adalah dinamit..”
Meskipun jargon ini tidak bisa ditafsirkan sebagai mana adanya, tetap saja saya mencium aroma pemberontakan pada ucapan ini. Semacam semangat akan kebebasan memilih apa yang kita kehendaki, (bahkan untuk menjadi Tuhan sekalipun) terlepas dari apakah kita menyukainya atau tidak. Toh bagi dunia sebenarnya sama sekali tak ada fenomena moral atas apapun, yang ada hanyalah penafsiran moral atas fenomena.
Jadi, bila dikaitkan dengan postingan saya sebelumnya mengenai keledai dan wortelnya itu, menurut saya semata-mata hanyalah persoalan pilihan. Semacam relatifisme kebebasan yang di dukung dengan kesadaran penuh. Dengan kata lain, ketika teman saya mengutuk dirinya sendiri sebagai keledai bodoh yang mengejar wortel itu sesungguhnya adalah berbanding lurus dengan apa yang ditegaskan oleh Nietzsche maupun Sartre diatas, bahwa manusia sebenarnya terkutuk dan atau mengutuk kebebasannya sendiri, karena pada kenyataannya kebebasan yang dipilihnya itu kerap kali harus bersebrangan dengan eksistensi kemanusiaannya sendiri, sesadar apapun dia menentukan pilihan itu. Maka dari itu, pada akhirnya kebebasan memilih “untuk jadi apa” bukan lagi merupakan satu anugerah yang patut disyukuri, tapi sebaliknya merupakan pengalaman yang sangat mengerikan dan memedihkan hati. Disinilah kemudian terjadi paradox, karena ternyata bila kita memilih untuk tidak menggunakan atribut kebebasan manusia itu berarti kita bukan manusia, tetapi untuk menggunakannya kadang malah harus berbenturan dengan idealisme kemanusiaan kita. Maka dari itu, tak aneh kalo kemudian “melacur” dianggap sebagai pekerjaan pertama tertua di dunia.. (yang kedua adalah makelar)
Jadi, pada hakikatnya, kebebasan manusia untuk menjadi apa itu merupakan kutukan bagi manusia. Karena dengan kebebasannya itu manusia memiliki ruang bermain, bersandiwara, atau bahkan mempermainkan dunianya di balik kerengkahan kemanusiaannya itu, tetapi juga sekaligus bahwa “dia tidak pernah menjadi dia”. Never IS, but continually HAS TO BE! Suatu kenyataan yang pedih, memang, karena betapa pun kuatnya hasrat manusia untuk menemukan dianya, adalah suatu kegiatan yang absurd dan sia-sia.. 😦
Sebagai penutup, saya kutipkan quote Sartre yang lain;
Apa yang menjadi tujuanku haruslah meningkatkan kesadaranku: agar aku menjadi lebih sadar diri, agar aku semakin sadar atas semua penderitaanku, sekaligus juga bertanggung jawab atas semua penderitaanku, tindakanku, serta diri yang aku ciptakan lewat tindakan-tindakan itu..
Lalu bagaimana menurut akal sehat anda mengenai fenomena ini? Silahkan jabarkan di kolom komentar..
Demikianlah
-up-
Februari 22, 2008 pada 2:28 am
The revolt of life againts thought, of passion and feeling againt reflective contemplation..
Februari 22, 2008 pada 5:09 am
Fokuskan kesadaran disatu titik dibalik semesta fenomena. Apa yg dida
Februari 22, 2008 pada 8:15 am
saya melihatnya sebagai kehampaan
tapi kesadaran saya menuntun saya untuk tetap berjalan ‘normal – selaras’ dalam kehampaan ini
Februari 22, 2008 pada 9:03 am
hmm..sudut pandang yang menarik. nggak akan gw sangkal. karena sudut pandang manusia berbeda-beda. kalo menurut gw hasrat manusia menemukan dianya bukanlah suatu kegiatan yang absurd. tapi memang butuh suatu usaha yang luar biasa. tapi sorry banget gw gak bisa menjabarkannya. karena memang gw gak pintar menjabarkan hal-hal kek gini. kalo lo punya mentor seorang Nietzsche dan Sartre maka begitu juga dengan gw. dan gw belajar (dengan sangat perlahan soalnya gw bodoh) menemukan diri dari mentor ini.
sorry bro, komentar sampah.. 😛
Februari 22, 2008 pada 9:27 am
Saya suka fenomena, dan penafsiran moral atas fenomena adalah begitu mengasikkan. Seperti kosong ini pun fenomena, yang bebas saya tafsirkan sekehendak saya. Permainan menjadi menyenangkan saat kesadaran, ikut bermain, ataukah sebaliknya?
Dan adakah sebuah proses yang sia-sia, juga absurd? melacurlah dengan sadar, atau mati saja…
-kenapa saya ini??-
😥
Februari 22, 2008 pada 9:41 am
Em, terus terang …. bingung mbacanya
Jadi gimana ini ya, moral itu menurut mereka (Sartre, Nietzsche) sebenarnya hanyalah sebatas konsep dan gagasan?. Bukan merupakan sesuatu yang memiliki eksistensi. Gitu ndak to, belum benar-benar nyambung ini 😀
Februari 22, 2008 pada 12:04 pm
@joyo
setubuh, bro.. 😀
ente memang sodara ane yang paling yahut..
@tukangkopi
hahaha.. sebenarnya inilah watak dasar kebanyakan kaum eksistensialis, bro..
Bahwa kesadaran dimengerti sebagai sesuatu yg menakjubkan, mengerikan, berbahaya, sekaligus menjadi tempat bersarangnya kelembutan dan cinta..
Makanya untuk memasuki dunia ini, kaum eksistensialis semacam memiliki password yg tak tertulis yaitu apabila kau tak menganggap hidup ini absurd dan muspra maka kau tak mungkin jadi penganut eksistensialisme.. 😀
btw, thanks atas sudut pandang yang lainnya..
@goop
yupe, itulah intinya, bro..
Kalo kau tak mampu mempertahankan idealismemu, maka melacurlah dengan sadar.. 😀
*pergi melacur*
@sigid
inilah Sartre, om.. Beliau memang berusaha menyeret ajarannya sebagai filsafat tindakan..
Dan, konsekwensi dari semuanya adalah moralitas tak lebih dari sekedar kumpulan hukum lama yang bahkan tak berkonsep sama sekali..
Februari 22, 2008 pada 3:47 pm
@Arwa
sorry tadi kejaring akismet, bro..
btw, kok komengnya nggantung yak??
Februari 22, 2008 pada 4:51 pm
Dari hengpong soalnya bro… Ntar aja komengnya pas ol…
Februari 22, 2008 pada 5:42 pm
klo kosong isi dong…..
biar ga kosong melulu…..
bukankah berisi lebih baik dari pada kosong…
Februari 22, 2008 pada 6:10 pm
*baca*
*pusing*
*nambah migrain*
*berusaha komen*
Well, ketika kita memilih untuk tidak menggunakan kebebasan kita, itu pun suatu pilihan. Sehingga sejatinya kita tidak selalu berbenturan dengan idealisme kita sebagai manusia.
Setuju sama Joyo, ini adalah kehampaan. Ruang kosong yang tidak bisa diisi. Namun kita memiliki kesadaran untuk berjalan dan menikmati kutukan kehampaan.
*kesambet*
Februari 22, 2008 pada 6:22 pm
kosong akan kembali kosong….
meski terisi penuh..
Tuhan yang akan mengosongkan kembali…
…….
Februari 22, 2008 pada 9:20 pm
sorry oot
zink dicari syabal tu, diajak yasinan katanya 😀
*kompor kompor*
Februari 22, 2008 pada 10:04 pm
dapatkah definisi membatasi kebenaran
Februari 23, 2008 pada 1:17 am
::srtre untuk sartre; zal untuk zal, berputar pada ruang manapun, hukum zal akan diberlakukan bagi zal…
Februari 24, 2008 pada 10:18 am
@daeng limpo
justru kebenaran itu ada dalam definisi bukan?
ah entah lah
Februari 24, 2008 pada 11:28 pm
waduh puyeng baca nya. yang jelas hidup itu kalau ngga ada orang2 seperti sartre atau siapapun lah dia,yang mampu menggunakan logika seperti itu, hidup rasanya datar2 aja(agak menyimpang dari topik). kenapa? karena menurutku dengan pemikiran2 mereka, kita jadi ikut berpikir untuk apa kita hidup, apa tujuan kita hidup,dsb.
Februari 25, 2008 pada 1:58 am
Ya…ya…ya…
Seringkali kebebasan kita justru akan berujung pada keterikatan kita … setidaknya keterikatan kita akan keinginan kita, ya salah satu contohnya keterikatan pada kebebasan itu sendiri
Februari 25, 2008 pada 2:25 am
bukankah fenomena itu sekedar ilusi yang menyelimuti kenyataan, betapun tipis atau tebalnya ilusi itu, kita tidak akan mampu menyaksikan kenyataan yang sebenarnya sebelum secara tuntas menyingkap segala tabirnya.
lalu apakah itu kenyataan/realitas..?
menurutku realitas itu selalu berubah jadi fenomena setelah diketahui bahwa ada realitas lain di baliknya. Jadi dimana akhir/puncak dari realitas …?
*aku blom tau bro.., tapi kata orang-orang sih puncak realitas itu ada di wilayah transenden/metafisis* 😀
‘Semua aktivitas umat manusia sama saja. Karenanya, tidaklah ada bedanya apa yang dilakukan seorang pemabuk yang kesepian atau apa yang dikerjakan seorang pemimpin negara.’
pernyataan khas kaum eksistensialis, apalagi kalau kedua aktifitas tersebut sama sekali tidak dikaitkan dengan nilai dan derajat kesadaran. *jadi eksistensialis nihilistik deh wakakakkk 😆 *
jadi semuanya seakan kosong ya..?
menurutku kekosongan itu pertanda ketiadaan nilai/arti dari setiap pemikiran dan tindakan yang ujung-ujungnya segala sesuatu itu sia-sia belaka.
Agar kosong itu tetap kosong aku jadi teringat Qoute gurunya Sun Go Kong :
‘kosong adalah isi….
isi adalah kosong….’ 😆
*wadow mangaf sekali ya zink komengnya ngacoo abis pusing dengan kerjaan baca tema kaya genean jadi makin pusing bin puyeng*
*ngeroko dulu ah..*
Februari 25, 2008 pada 9:14 am
kadang kata –kata dan bahasa menjadi terlalu sulit diterjemahkan sehingga saya sering terjebak dalam permainannya.
But, tak semua hal bisa dipikul dalam alam rasionalitas manusia.
“Kamu harus kuat”., begitu kata temen saya selalu 😀
Kamu harus kuat.
Februari 25, 2008 pada 1:14 pm
@Arwa
sumpret, bro..
komentar kamu adalah komentar terhebat yang saya dapat sepanjang seminggu terakhir penjelajahan panjang saya di dunia antah-berantah ini.. 😀
selamat, komentarmu menjadi “best coment on the week”
*serius*
Februari 25, 2008 pada 2:51 pm
Ah, salah ketik. maksudnya selalu berbenturan.
Februari 25, 2008 pada 4:46 pm
terus apa maknanya kosong dengan benturan? binun
Februari 25, 2008 pada 5:10 pm
*nunggu mbak Hana njelasin pada shinobi*
*gelar tiker*
*nonton*
*gag mau bantuin*
Februari 26, 2008 pada 12:38 am
luar biasa tulisannya. bergulat dengan para filsuf radikal. hehehe
Februari 26, 2008 pada 9:50 am
*nunggu Qzink bertanggungjawab atas judulnya sendiri*
Februari 26, 2008 pada 10:00 pm
saya pernah membuat sebuah konklusi yang berbunyi seperti ini:
oleh karena itu, karena ilmu saya belum solid, saya belum berani memikirkan sesuatu yang menggoyahkan ilmu.
Februari 27, 2008 pada 5:28 pm
Deziiiink…..wuuuuzzzzzzzssss…ngles dari bidikan Qzink66
Hmmm…hmmm…
KOSONG..?? KESADARAN…???.
Semua akan kita ketahui hanya dengan ” MATINING ROGO SIRNANING JASAD…lalu Manunggaling Kawulo kelawan Gusti ”
Kapan…?? Disini…disaat ini…
Bukankah kita ini berawal daro KOSONG…?? lalu kita hidup dan berisi 1 ( stu ), kemudian akan kembali pada yg KOSONG.
Deziiiiink….kabuuuurrrrr…..nggandhol Becak
Maret 4, 2008 pada 6:02 am
Waduh jangan sampe deh pikiran tentang bunuh diri ada di kepala saya
Maret 4, 2008 pada 7:20 am
@Landy
rupanya anda salah masuk tuh.. 😆
hayo fast reading yak??