Archive for April 16th, 2008

Lorong Gelap Dalam Bahasa

April 16, 2008

Si maut itu sudah datang membuat kamar dalam perutku. Ia membeli lemari baru, tempat tidur baru, meja dan lampu kamar. Ia juga memasang sebuah cermin. Si maut itu tidak pernah keluar dari kamarku. Setiap malam ia menyetel radio dan tv. Koran pagiku selalu diambilnya. Si maut itu, membuatku harus menggotong tubuhku sendiri untuk berdiri. Lemari goyah menahan berat tubuhku. Kamar seperti akan tenggelam ke dalam pagar-pagar jiwa. Si maut itu mengatakan, semua yang aku rasakan bukan milikku.

Aku bertengkar dengannya. Ia telah mengambil semua yang aku rindukan, semua mimpi-mimpiku. Si maut itu telah membuat kamar tidurku seperti sebuah gereja yang rusak. Seluruh penghuninya telah pergi. Lonceng berdentang seperti menggemakan lorong gelap dalam bahasa. Dan si maut itu membuat mulutku seperti peti besi. Kata-kata yang tak pernah lagi menemui anak-anak kucing bermain. Bulunya halus dan lembut, tubuhnya gugup menghadapi setiap gerak dari dunia luar. Ibunya datang, memanggilnya dengan suara yang datang dari lorong kematian dan kelahiran, menggigit lehernya, dan membawanya ke dalam sebuah kardus.

Si maut itu, api dari kaki-kaki bahasa.
.

.

.

.

.

Puisi di atas menurut saya begitu hebat dan lugas. menggambarkan sebuah kematian sebagai keniscayaan yang tak mungkin di hindari. ada nada kepasrahan, putus asa tapi juga perlawanan. saya sepakat dengan apa yang di katakan Afrizal Malna bahwa Kamar seperti akan tenggelam ke dalam pagar-pagar jiwa. Si maut itu mengatakan, semua yang aku rasakan bukan milikku. seakan-akan tak ada cara lain ketika kita bersitatap dengan kematian selain dengan menghadapinya. dan seperti halnya Afrizal Malna, Aku bertengkar dengannya. Ia telah mengambil semua yang aku rindukan, semua mimpi-mimpiku. Si maut itu telah membuat kamar tidurku seperti sebuah gereja yang rusak. Saya berteriak malam itu; “Tuhan.. (kalau memang kau ada) maju ke hadapanku, mari kita selesaikan urusan kita”. Hahahahaha… Ada nada kekanak-kanakan sekaligus kecongkakan yang terlontar dari mulut saya malam itu.

tapi, beberapa detik kemudian saya merasa bodoh karena menantang sebuah entitas yang sama sekali nggak nyata. Kata-kata yang tak pernah lagi menemui anak-anak kucing bermain. Bulunya halus dan lembut, tubuhnya gugup menghadapi setiap gerak dari dunia luar.

Dan akhirnya, Lonceng berdentang seperti menggemakan lorong gelap dalam bahasa. Dan si maut itu membuat mulutku seperti peti besi. Dan aku pun mencoba tidur sambil berharap ini hanya mimpi buruk, meski kemudian saya tahu bahwa bahkan yang benar-benar mimpi buruk pun masih jauh lebih baik dari ini…

Ah, hidup selalu saja tak pernah selesai… 😦

.

.

.

.

ps: Puisi di atas saya comot bulet-bulet dari karyanya Afrizal Malna yang berjudul ‘Lorong Gelap Dalam Bahasa‘, yang terdapat dalam buku kumpulan puisnya ‘Di Rahim Ibuku Tak Ada Anjing’.