Teori Seksual Anak-anak Karya Sigmund Freud

Oktober 22, 2009

Tulisan ini terilhami oleh perilaku anak saya yang kelihatan begitu senang bila sudah mengemut kain ketika menjelang tidur. Dan bila sudah melakukan ritual tersebut biasanya anak saya akan tertidur dengan sendirinya. Kebiasaan inilah yang kemudian membuat saya bertanya-tanya dan sedikit khawatir takut kalau-kalau kebiasaan ini nantinya akan terbawa sampai ketika ia dewasa. Sebagai seorang laki-laki yang baru saja mempunyai anak tentu saja pengetahuan dan pengalaman saya tentang hal ini sangat minim, dan dari yang saya lihat pada anak-anak yang saya temui tak satu pun yang memiliki kebiasaan seperti yang dilakukan anak saya. Dari setiap bayi yang saya lihat sebagian besar adalah mengemut jempolnya sendiri dan tak satu pun yang mengemut kain seperti kebiasaan anak saya. Takut kalau-kalau kebiasaan ini merupakan kebiasaan yang menyimpang membuat saya bertanya pada mbah google. Tapi entah karena keyword yang saya masukan kurang tepat atau apa saya tak menemukan jawaban setara yang membuat keingintahuan saya terpuaskan.

Pencarian ini kemudian saya lanjutkan ke kios buku bekas di Pasar Burung, Palembang tiga hari yang lalu dengan satu harapan besar bahwa disini saya akan menemukan jawaban yang saya cari. Tapi apa lacur, kios buku bekas merupakan belantara ilmu yang kelewat membingungkan untuk mencari sesuatu yang begitu spesifik macam ini. Tak ada satu pun buku yang berjudul Kebiasaan Bayi Mengemut Kain Menjelang Tidur di rak buku yang segitu padatnya itu yaiya lah, nyet.. disamping judul tersebut tidak menjuwal, tentu juga judul itu kelewat panjang. 😀

Tapi tenang saja, keluar dari kios buku dengan tangan hampa bukan merupakan kebiasaan saya. Saya pulang dengan membawa serta empat buku sekaligus yaitu : Empat Sandiwara Orang Melayu (Wirsan Hadi), Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan (Y.B. Mangunwijaya), Titik Nadir Demokrasi (Emha Ainun Nadjib) dan Three Essay on Sexuality (Sigmund Freud). Lumayanlah, tiga buku untuk menemani saya selama di mobil yang mengantar saya pulang ke Cirebon nanti. Dan yang satunya yaitu buku yang berjudul Three Essay on Sexuality karya Sigmund Freud yang sedikit banyak berhubungan dengan kebiasaan anak saya akan saya coba review di postingan kali ini. Oh iya, gara-gara takut ketinggian yang akut saya bersikukuh untuk naik bis saja meski istri saya terus merengek untuk naik pesawat terbang dengan alasan biar lebih cepat sampai ke Cirebon. Tapi sudahlah, takut ya takut. Lagi pula saya terlalu takut jatuh dari ketinggian untuk jarak yang kelewat dekat.

Ok, seakarang kita mulai saja reviewnya….

Sebenarnya buku yang diterbitkan oleh Freud pada tahun 1905 ini membahas tentang seksualitas secara keseluruhan seperti definisi seksual, penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbi, (Freud menyebutnya dengan istilah invert) orang-orang yang terangsang pada benda tak bergerak seperti celana dalam, atau bagian tubuh yang tak semestinya seperti rambut, ketiak termasuk bau keringat dan sebagainya (Freud menggolongkan jenis ini sebagai pervert) seks oral dan anal, sadisme dan masokhisme, inses dan masih banyak lagi. Tapi saya tidak akan membahas semua karena untuk saat ini saya hanya ingin membahas satu bab saja yaitu tentang perilaku seksual pada anak-anak. Untuk hal-hal lain di atas mungkin akan saya bahas pada lain kesempatan.

Menurut Freud pada dasarnya impuls seksual telah ada sejak manusia dilahirkan, tetapi dengan segera terabaikan oleh proses represi yang progresif. Dan tujuan dari semua kegiatan seksual di masa kecil adalah mendapatkan pemuasan dengan merangsang zona erotogenik, tapi kemudian mereda kembali pada usia 6 – 8 tahun untuk kemudian muncul lagi pada saat memasuki masa pubertas. Jedah seksual pada masa ini oleh Freud disebut sebagai periode latensi.

Eksplorasi Seksual di Masa Kecil
Menurut Freud secara kodrati anak-anak ingin tahu tentang seksualitas. Anak-anak itu ingin tahu sebenarnya dari mana bayi-bayi lahir, dan oleh karena sebab apa. Secara umum mereka beranggapan bahwa keluarnya bayi adalah dari anus, sebagaimana yang ia tahu tentang keluarnya kotoran.

Tak hanya bagaimana dan karena apa keluarnya bayi, anak-anak pun punya keingin tahuan yang sangat besar terhadap lawan jenisnya. Dan karena mereka tidak pernah mendapat penjelasan yang bisa diterima akal mereka dari orang tua atau pengasuh mereka maka pengungkapan masalah ini pada akhirnya membuat traumatik. Pada anak laki-laki misalnya, mereka sangat takut akan kehilangan penisnya (kompleks pengebirian) karena mereka melihat anak gadis tak memiliki penis dan itu dianggap karena para anak gadis adalah korban dari pengebirian oleh orang tua mereka. Sedangkan pada anak perempuan bisa mengalami dengan apa yang disebutnya ‘penis envy’ yang parah, membuatnya dipenuhi dengan kecemburuan terhadap organ lelaki itu dan dengan segera ingin menjadi laki-laki.

Freud juga menyatakan bahwa pada saat menyaksikan orang dewasa sedang bersenggama, anak-anak selalu berpendapat bahwa mereka sedang berkelahi. Adanya noktah darah di seprey atau celana dalam orang tua mereka ketika menstruasi justru makin memperparah pendapat menyeramkan itu.

Kemudian dengan pelan-pelan Freud pun mengembangkan gagasannya mengenai seksualitas anak-anak ini dan membaginya dalam beberapa tahap krusial yang akan dilewati oleh kanak-kanak dalam hal pengalaman seksualitasnya. Beberapa tahap dari seksualitas kanak-kanak ini antara lain sebagai berikut :

  • Tahap Oral
    Perasaan seksual anak yang pertama kali muncul adalah ketika sang anak mengemut puting payudara ibunya. Pada tahap yang sangat dini dan dimulai sejak anak dilahirkan hingga sekitar usia satu tahun ini , ibu merupakan objek seksual sang anak. Periode ini pun kemudian berlanjut pada tahap seksualitas masa kecil dimana sang anak akan terkesan akan penginderaan tubuhnya sendiri yang ditandai dengan kebiasaan bayi mengemut banyak bagian tubuhnya terutama jempolnya sendiri. Kebiasaan mengemut jempol dan benda-benda lain yang menempel di bagian tubuhnya seperti baju yang ia pakai dan sebagainya ini adalah merupakan kelanjutan dari mengemut puting susu ibunya. Emutan ini bersifat ritmis dan seringkali juga disertai dengan gesekan. Freud mengatakan bahwa hal ini akan mengarah pada masturbasi. Kegiatan ini sangat mengasyikan dan nyaman serta sering kali mengantar sang bayi pada tidur nyenyaknya.
  • Tahap Anal
    Tahap ini berlangsung antara umur 1 hingga 3 tahun yang oleh Freud disebut sebagai fase latihan kamar kecil yakni fase ketika sang anak belajar untuk mengendalikan kandung kemih dan isi perutnya. Menurut Freud pada tahap ini anak-anak akan merasa sangat bangga karena bisa menghasilkan kotorannya sendiri. Ketika menjalani latihan kamar kecil ini, anak-anak seringkali memegang-megang kotorannya sendiri, karena ia ingin menikmati kesenangan erotis ketika mampu menghasilkan kotoran secara pribadi.
  • Tahap Phallic
    Tahap ini berlangsung antara umur 3 hingga 5 tahun. Sekarang genital menjadi zona erogen dan anak mulai melakukan masturbasi. Zona genital anak kecil oleh ibunya sering dicuci, digesek dan sebagainya ketika sehabis buang kotoran atau pun mandi yang tanpa disadari oleh ibunya bahwa ketika terjadi gesekan, bilasan dan sebagainya ini membuat sang anak merasa nyaman dan terangsang. Dan dengan segera sang anak pun kemudian mencoba untuk melakukannya sendiri dengan gesekan tangan atau dengan merapatkan paha. Disamping perpindahan zina rangsangan yang mengarah ke zona genital, pada masa ini pun menurut Freud semua anak pada tahap ini khusus untuk anak perempuan merasakan ‘penis envy’ yaitu sebuah kecemburuan kepada anak laki-laki yang memiliki penis. Para anak perempuan melihat diri mereka sendiri telah dikebiri oleh orang tuanya. Dalam tahap ini juga berkembang kompleks Oedipus yakni sang anak akan jatuh cinta pada ibunya sendiri dan menjadi cemburu terhadap ayahnya serta ingin membunuh serta menyingkirkan ayahnya agar tak menghalanginya.
  • Tahap Latensi
    Menurut Freud, perasaan dari tahap Oedipal akhirnya ditekan dan dorongan dorongan seksual mereda hingga tibanya masa pubertas.
  • Tahap Genital
    Tahap terakhir pada perkembangan seksual pun adalah tahap genital ini yang berlangsung sejak pubertas dan seterusnya. Pada tahap ini terjadi pembaharuan terhadap minat seksual dan objek yang baru pun ditemukan untuk pelampiasan dorongan seksnya.

Teori Freud mengenai tahap-tahap yang dilalui oleh anak-anak hingga kemudian dewasa ini sendiri sebenarnya pada masa sekarang banyak ditentang karena banyak teorinya yang terkesan berlebihan seperti keinginan seorang anak membunuh ayahnya dalam Oedipus kompleks, bangga dan merasa nikmatnya anak-anak ketika mampu menghasilkan kotoran besar dan sebagainya, tapi dari kekurangan teori Freud ini toh masih banyak juga teorinya yang saya anggap cukup masuk akal dan layak dipikirkan lebih lanjut. Toh, namanya juga teori, wajar dong kalau masih banyak bolong-bolongnya…..

3 Tanggapan to “Teori Seksual Anak-anak Karya Sigmund Freud”

  1. joyo Says:

    lha nek kamu ngemut apa Zink? :))

  2. rina Says:

    Saya cukup tertarik dengan teori ini, jika sebagai orang tua menghadapi masalah anaknya yang mengalami tahap pralic al. masturbasi, bagaimana cara paling efektif untuk mengatasinya

  3. Sasa Says:

    Freud menggunakan teori seksualitas untuk menutupi kelemahannya dan untuk menegakkan dogma psikoalisanya yang telah dilawan oleh pengikutnya sendiri: Jung, silahkan baca:

    http://forget-hiro.blogspot.com/2010/04/mengapa-sigmund-freud-begitu-menekankan_25.html


Tinggalkan komentar