Duh

Februari 22, 2017

Duh..
Tapiyasudahlah.


Kritik Nietzsche Atas Postulat Plato

Januari 26, 2011

Plato, seorang filsuf Yunani yang tumbuh paska era Sokrates, dikenal dengan pendapatnya bahwa dunia ini terbagi atas dua bagian, yakni dunia indrawi dan dunia idea. Dalam dunia indrawi inilah manusia mengenal doxa (pendapat), sedang pada dunia selainnya yang ia sebut sebagai dunia idea barulah manusia bersinggungan atau masuk ke dalam dunia ideal yang diantaranya mengenai episteme (pengetahuan). Dengan kata lain, kepastian dan kesahian sebuah kebenaran menurut pendapat Plato hanya dan ada lewat dunia idea ini, karena pada hakikatnya kebenaran hanya bersemayam di ranah ini. Dunia indrawi semata-mata hanyalah sekumpulan persepsi dan pendapat yang adakalanya saling menegasi satu sama lain, yang oleh karenanya bersifat kabur dan tidak tetap. Sedangkan, sebuah kebenaran tidaklah demikian. Ia berifat tetap dan absolute.

Dan karena dunia idea bersifat begitu istimewa, maka menurut Plato, tentu tak semua orang mampu memasuki dunia ini. Hanya orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaanlah (para filsuf salah satunya) yang mampu memasuki ranah ini. Oleh karenanya, pada zaman itu, pendapat Plato mendorong manusia untuk berupaya memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan demi menemukan absolutsitas yang bertengger dalam dunia idea. Kebenaran yang terutama pengetahuan dan kebijaksanaan pun melalui Plato diseret menjadi sedemikian ekslusif. Ia bukan lagi sekedar kebenaran, tapi lebih mengarah kepada simbol-simbol. Pandangan inilah yang kemudian pada gilirannya memicu timbulnya pemikiran filsuf-filsuf sesudahnya dengan gagasan transcendentalnya yang bermuara pada pembentukan pandangan metafisika yang kemudian dibungkus dalam tradisi keagamaan dalam bentuk-bentuknya yang beragam. Lahirlah manusia-manusia dengan pola hidup zuhud yang tak lagi memikirkan kemajuan duniawi. Hidupnya hanya semata-mata untuk menyiapkan kehidupan sesudah mati. Hidup pun pada akhirnya menjadi berjalan sedemikian lamban.

Sikap-sikap masyarakat Eropa yang terkena waham Platonis (yang dinilainya begitu hipokrit) inilah yang kemudian mengilhami Nietzsche untuk berontak keluar mengobrak-abrik doktrin yang kian mapan itu melalui filsafat nihilismenya. Kehadiran filsafat nihilisme Nietzsche dalam dunia Barat membuat banyak kalangan tercengang. Ia datang sebagai penawar atas filsafat transcendental Barat yang telah berhasil mengalungkan “kuk” ke leher kebenaran hingga menjadikannya sedemikian ekslusif dan bersifat monolitik. Nietzsche mengobrak-abrik semua tatanan yang sudah sedemikian mapan ini dengan diredusir dan dipertanyakan kembali. Menurut Nietzsche, doktrin-doktrin kebenaran yang diadopsi dari faham Platonis yang hipokrit itu bukan saja melemahkan daya vital manusia tapi juga membuat manusia tunduk dan dibuat tidak berdaya dalam satu keyakinan absolut yang tanpa disadari justru mendistorsi manusia sebagai makhluk yang memiliki kehendak untuk berkuasa. Baca entri selengkapnya »


Moral Budak yang Berbahaya di Mata Nietzsche

Agustus 1, 2010

Ah, sudah lama rasanya saya tak menulis tentang risalah-risalah Nietzche di blog ini. Untuk itu pada kesempatan kali ini mumpung sedang ada sedikit mood untuk menulis, saya akan (kembali) mewartakan pemikiran-pemikiran Nietzsche terutama untuk soal moralitas tuan dan moralitas budak.

Sebenarnya, postingan ini sendiri berkait erat dengan postingan saya sebelumnya yang berjudul Khotbah dari Sang Pembunuh Tuhan yang dalam hal ini adalah tentang bagaimana Nietzsche menggambarkan dalam sabdanya tersebut melalui tokoh ‘orang gila’ yang memproklamirkan diri telah membunuh Tuhannya pada suatu pagi di sebuah pasar dengan lentera menyala di tangan.

Lewat perumpamaan orang gila yang berkoar-koar ditengah pasar itulah yang disimpulkan oleh F. Budi Hardiman sebagai pintu gerbang datangnya zaman ateistis, dan kegilaan yang dimaksud Nietzsche tentu saja adalah gambaran dari dirinya sendiri yang kehilangan sosok Tuhan, sementara orang-orang zaman itu tidak memahaminya, sampai datang zaman kegilaan universal, yakni penemuan kesadaran bahwa manusia telah kehilangan Tuhan.

Pendeknya, pada saat itu yang ingin dikemukakan oleh Nietzsche adalah sudah saatnya kita menyambut datangnya suatu zaman dimana kreativitas dan kemerdekaan merupakan bahan bakar utama yang menggerakkan segalanya, sebab dengan matinya Tuhan terbukalah horizon seluas-luasnya bagi segala energi kreatif untuk berkembang penuh. Tanpa larangan dengan terror neraka maupun perintah-perintah dengan iming-iming kenikmatan abadi a la surga. Mulai saat itu kita tak lagi bisa dipaksa untuk menengok dan berkunjung ke dunia transenden, karena toh menurut Nietzsche, agama sebagai sebuah lembaga pihak ketiga yang menghubungkan manusia dengan Tuhan tersebut tak lebih merupakan sebuah lembaga yang bobrok dan busyet, mengebiri daya vital manusia dan semakin menjauhkan manusia dari hidup dan dunianya, yang dalam artian, Nietzsche menganggap lembaga agama tak lebih dari vampirisme belaka. Dengan ‘kematian Tuhan’ manusia tidak lagi dibatasi atau diarahkan oleh dunia transenden. Dia tidak lagi berlindung di bawah naungan Tuhan karena sikap pengecut dan penolakannya terhadap dunia ini.

Jadi, tak berlebihan kiranya jika kemudian banyak orang yang kemudian menyimpulkan (termasuk juga saya) bahwa eksistensialisme – nihilisme Nietzsche pada dasarnya adalah eksistensi yang sekuler dengan menempatkan manusia sebagai sosok yang menempati posisi khusus dalam tatanan kosmos. Hanya saja, tak seperti filsuf rasionalis yang menganggap bahwa ciri khusus manusia adalah pada rasionya, maka Nietzsche lebih memilih penitik beratan ciri khusus tersebut lebih kepada tindakan yang diambil oleh manusia itu sendiri. Dari kekeras kepalaannya pada sang tindakan inilah kemudian lahir satu premis yang kita semua tahu, Will to Power, sebuah kehendak untuk berkuasa. Baca entri selengkapnya »